Posted by : Unknown Rabu, 30 Juni 2010

Hijrah dan Pembentukan Masyarakat Madani
Definisi Hijrah
• Dalam kamus-kamus bahasa Arab berakar pada huruf ha-ja-ra, yang berarti pisah, pindah dari satu negeri ke negeri lain, berjalan di waktu tengah hari, igauan dan mimpi.
• Dalam terminologi Islam, hijrah diartikan dengan meninggalkan negeri yang tidak aman menuju negeri yang aman demi keselamatan dalam menjalankan agama.
Dalam sejarah perjalanan dakwah, hampir semua para nabi, khususnya ulul azmi, pernah melakukan hijrah. Hijrah secara fisik yang dikenal dalam Islam adalah hijrah sebagian sahabat, yang terbanyak dari kalangan mustad’afin (orang-orang yang lemah secara politik dan ekonomi), ke negeri Habasyah sebanyak dua kali.
1. Hijrah pertama ini diikuti hanya oleh dua puluh orang. Di dalam rombongan ini terdapat Ruqayyah binti Muhammad (putri Rasulullah saw.) dan suaminya Utsman bin Affan. Mereka berlayar secara diam-diam menuju Habasyah dengan menggunakan kapal dagang. Kaum musyrik Mekah kemudian mengirim pasukan untuk mengejar mereka. Namun, kaum muslim telah berlayar setibanya pasukan di tepi laut. Peristiwa ini terjadi di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.
2. Hijrah ke Habasyah ini dilakukan kaum muslim karena semakin meningkatnya intimidasi kaum Qurisy pada mereka. Setelah dua bulan tinggal di Habasyah, mereka kembali ke Mekah karena mengira intimidasi kaum Quraisy sudah jauh berkurang.
Latar Belakang Hijrah
FAKTA SEJARAH
1. Wafatnya Abu Thalib, pembela nabi yang gigih pada tahun kesepuluh kenabian Muhammad saw. Meski membela Nabi, Abu Thalib hingga saat menghembuskan nafas terakhir tetap tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat. Ini karena ia ingin mempertahankan wibawa Bani Muthal¬lib di mata masyarakat Quraisy secara keseluruhan.
2. Pada tahun yang sama wafat pula isteri Nabi, Khadijah. srikandi yang mampu meringankan penderitaan Nabi
WafatnyaAbu Thalib dan Khadijah—oleh para sejarahwan disebut sebagai amul hazni (tahun duka cita).
3. Nabi Hijrah ke Thaif , meningkatnya gangguan dan teror serta siksaan kafir Quraisy terhadap kaum Muslimin untuk memperoleh pertolongan & peneri¬maan yang sebaik-baiknya. Akan tetapi Nabi mendapati kenyataan yang sebaliknya
Nabi pun berlindung di dalam sebuah kebun dan berdoa kepada Allah swt.
Doa dimaksud berbunyi:
“Wahai Tuhanku, kepada-Mu hamba mengadukan lemahnya kekuatanku, sempitnya upayaku, dan hinanya aku di mata manusia.
Wahai Tuhan, Engkaulah yang lebih pengasih dari semua pengasih, Engkaulah pelindung orang-orang yang lemah dan Engkaulah Tuhanku.
Kepada siapakah Engkau akan menyerahkan diri hamba ini? Kepada yang jauh dan menghadapiku dengan muka masamkah, atau kepada musuh yang membenciku?
Kalau Engkau tiada memurkaiku, tiadalah mengapa. Tetapi maafmulah yang sangat kudambakan. Aku berlindung di bawah nur-Mu yang menerangi semua kegelapan, dan atasnyalah urusan dunia dan akhirat akan menjadi baik, agar janganlah kiranya Engkau turunkan murka-Mu kepadaku.Untukmulah aku rela dihinakan, asal saja Engkau masih mencintaiku.Dan tiada daya dan upaya, tiada kekuatan, kecuali dari-Mu.”
4. Isra’ Mi’raj. Dari Makkah ke Yerusalem. Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Setelah itu Mi’raj ke Shidratul Muntaha. Saat Mi’raj ke Shidratul Muntaha, Rasulullah saw. mendapat perintah langsung dari Allah swt. untuk menunaikan sholat lima waktu. Rasulullah saw. juga bertemu dengan para nabi-nabi terdahulu.
5. Di musim haji Rasulullah saw. datang menemui setiap kafilah haji yang datang. Beliau mendakwahi dan mengajak mereka beriman kepada Allah swt. Rasulullah saw. bertemu dengan rombongan haji dari Yatsrib di Aqabah. Tujuh orang rombongan haji dari Yatsrib ini bersyahadat dan berbai’at kepada Rasulullah saw.
Beberapa ibroh untuk para pejuang dakwah….
1. Seorang dai boleh saja mengangkat salah seorang anggota keluarganya sebagai pelindung, manakala ia bersedia membela pribadi sang dai, walaupun dia belum mau menerima isi dakwahnya sendiri. Fanatisme kesukuan atau kekeluargaan boleh saja dimanfaatkan sejauh tidak menggerogoti dai dan ajaran-ajaran yang didakwahkannya. Dengan kata lain, sejauh tidak menimbulkan kemungkaran-¬kemungkaran.
2. Isteri yang shalihah dan yakin akan kebenaran apa yang didakwahkan suaminya, akan dapat meringan¬kan kesulitan-kesulitan yang menghalangi dakwah, kalau saja dia terlibat dalam cita-cita dakwah itu. Hal ini akan membantu mengatasi kesulitan¬kesulitan yang melanda sang suami, sang dai itu, sehingga dia semakin berketetapan hati untuk meneruskan cita-cita dakwahnya. Apa yang telah dilaku¬kan oleh Sayyidatina Khadijah terhadap Rasulullah saw. tidak lain adalah keteladan tentang bagaimana peran yang dapat dimainkan oleh isteri dalam membela dakwah untuk kebenaran dan kebaikan. Peran yang diambil oleh sang isteri itu tentulah menunjang kesuksesan sang dai di satu pihak, dan membuatnya bersemangat untuk terus menjalankan dakwahnya di lain pihak.
3. Sedih karena ditinggal pembela dakwah beta¬papun sang pembela itu belum beriman terhadap kebenaran isi dakwah, dan sedih karena ditinggalkan sang isteri yang sudah beriman dan ikut bertanggung jawab terhadap kesuksesan dakwah, tentulah merupakan kesedihan yang timbul dari sikap ikhlas dan tulus dalam menjalankan dakwah, serta merupakan tanda penghargaan sang dai untuk sang isteri yang sanggup berkorban demi kepentingan yang sama. Inilah dasarnya mengapa Nabi Muhammad saw. selalu mendoakan Abu Thalib yang meninggal dalam keadaan belum mengikrarkan dua kalimat syahadat. Tersebutlah dalam suatu riwayat, Nabi mengucapkan kata-kata sebagai berikut, “Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat dan ampunan-Nya bagimu (Abu Thalib). Aku akan selalu memintakan ampun untukmu, hingga Allah mencegahku.”
Hadits ini pada masa selanjutnya dijadikan sebagai dasar hukum oleh kaum Muslimin tentang bolehnya mendoakan nenek moyangnya yang sudah meninggal, tapi belum masuk Islam. Akan tetapi kebiasaan seperti ini dilarang oleh Allah swt. melalui firman-Nya, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan onang-onang yang beniman memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang syirik, walaupun mereka itu kaum kerabatnya sendiri, sesudah jelas bagi mereka, orang-¬orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” [QS. At-Taubah (9): 113]
Gambaran kecintaan terhadap Khadijah.ra
Siti Aisyah sendiri merasa cemburu lantaran seringnya Nabi menyanjung-nyanjung Khadijah. Imam Bukhari meriwayatkan pertanyaan Aisyah itu sebagai benikut.
Aisyah mengatakan, “Cemburuku kepada isteri-¬isteri Rasulullah yang lain tidaklah sebesar cemburuku kepada Siti Khadijah. Memang aku tidak sempat bertemu muka dengannya, tetapi Nabi sering menyebutnya. Beliau pernah memotong kambing, dan setelah dipotong-potong dibagikannyalah daging itu kepada sahabat-sahabat Khadijah. Pernah aku mengatakan kepadanya agaknya beliau (Khadijah) itu merupakan satu-satunya wanita di dunia ini, ya Rasulullah. Nabi menjawab celotehku itu dengan mengatakan Khadijah adalah seorang wanita yang demikian demikian demikian, dan saya dikaruniai keturunan darinya.”
4. Hijrah ke Thaif, setelah penduduk Makkah tak berkenan kepadanya, menandakan kesungguhan dan kemauan keras Nabi untuk meneruskan dakwahnya tidak mengenal putus asa, tidak kehilangan akal untuk mencari medan dakwah yang baru. Sedangkan arti yang terkandung dalam peristiwa pengerahan anak-anak oleh Bani Tsaqif untuk menghajar Nabi ketika berada di Thaif adalah kejahatan selalu dilakukan dengan menunggangi orang-orang yang tidak mengerti apa-apa. Dan darah yang mengalir dari luka-luka di kaki Nabi saw. akibat lemparan batu Bani Tsaqif merupakan peristiwa yang mengingatkan para da’i akan perlunya ketangguhan mental dalam melaksanakan dakwah. Sebab, berdakwah adalah tugas yang selalu akan dihadapkan pada tantangan dan gang¬guan fisik.
Rasulullah tidak berkebera¬tan terhadap segala siksaan yang diterimanya, tetapi justru kemurkaan Allah sajalah yang beliau takuti. Beliau hanya berkepentingan untuk memperoleh ridha Allah, bukan ridhanya para pemimpin dan pembesar negara atau kerajaan, bukan juga keridhaan ma¬syarakat umum dan orang-orang yang degil.
5. Mukjizat Isra’ Mi’raj itu mengandung beberapa rahasia.
a. Masalah Masjid Al-Aqsha dan sekitarnya (Pa¬lestina) berkaitan dengan persoalan dunia Is-lam. Makkah telah menjadi pusat dunia Islam dan merupakan lambang persatuan, dan membela Palestina adalah juga berarti membela Is¬lam, maka setiap Muslim wajib melakukan pembela¬an itu.
b. Mu’jizat Isra’dan Mi’raj ini menandakan keting¬gian martabat kaum Muslimin dan wajibnya mengutamakan Islam daripada tuntutan hawa nafsu duniawi. Isra’ Mi’raj juga menegaskan bahwa ketinggian kedudu¬kan dan martabat serta cita-cita Islam itu merupakan monopoli kaum Muslimin.
c. Mengisyaratkan mungkinnya dilakukan penje¬lajahan ke luar angkasa sepanjang sejarah. Disamping itu diisyaratkan pula mungkinnya kembali dari penjelajahan angkasa luar ke planet bumi ini dalam keadaan selamat. Kalau Rasulullah saw. dulu mengalami hal itu dengan mu’jizatnya, maka bagi manusia biasa hal tersebut hanya mungkin dengan ilmu dan pemikiran.

6. Diwajibkannya shalat pada waktu Isra’ Mi’raj,
shalat itu merupakan Mi’raj bagi orang yang beriman. Seakan Allah hendak me¬ngatakan kepada manusia, kalau Mi’rajnya Rasu¬lullah dijalaninya dengan jasad dan rohnya, maka kamu (kaum Muslimin) hendaknya menjadikan shalat lima waktu sehari semalam itu sebagai Mi’raj-mu, dengan roh dan kalbumu naik kepada-Ku. Dan hendaklah pendakian spiritualmu itu merupakan usaha melampaui nafsu syahwat dan penyaksian sebagian tanda-tanda keagungan, kekuasaan, dan keesaan-Ku. Sebab dengan cara itu sajalah kamu sekalian dimungkinkan menjadi pengendali segala sesuatu yang ada di bumi ini. Tidak dengan jalan perbudakan, paksaan, ataupun peperangan, melain¬kan dengan jalan yang baik dan mulia.
7. Kontak yang dilakukan Rasulullah dengan jamaah haji setiap tahun
seorang dai tidak sepantasnya membatasi sasaran dan ling¬kup dakwahnya sekitar orang-orang yang ada di sekelilingnya saja. Sebaliknya ia harus menjangkau tempat-tempat orang-orang berkumpul atau mungkin berkumpul di situ. Juga tidak pantas kalau ia cepat putus asa, karena orang-orang enggan mene¬rima ajakannya. Sebab Allah telah mempersiapkan pengikut-pengikut setia yang tidak terduga sebelum¬nya. Dan seringkali sekelompok kecil orang justru berperan besar dalam mensukseskan dakwah dan memerangi kejahatan, berikut pecinta-pecintanya.
Berimannya tujuh orang yang dijumpai Nabi di Aqabah misalnya, ternyata merupakan cikal bakal kaum Anshar, yang di samping menjadi penolong kalangan Muhajirin, juga menjadi landasan yang kokoh bagi berdirinya negara yang memprogramkan penghapusan syirik dan musyrik, untuk selanjutnya membangun kekuasaan iman yang kekal abadi.
Hijrah Habasyah ke 2
Setelah hijrah ke thaif yang tidak sesuai kenyataannya, Nabi Muhammad saw. kemudian menyarankan para sahabatnya untuk hijrah kembali ke Habasyah. Rencana hijrah kedua ini lebih berat karena pihak musuh sudah mencium rencana tersebut. Hal ini menyebabkan kaum muslim bergerak lebih cepat. Rombongan ini dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan sebanyak delapan puluh tiga pria dan tiga belas wanita berhasil berangkat hijrah ke Habasyah. Mereka tiba dengan selamat. Tetapi, tidak lama kemudian datang utusan dari Mekah yang dipimpin oleh ‘Amr bin al-‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka bermaksud meminta kaum muslim, sambil membawa banyak hadiah untuk Raja Najasyi. Terjadilah dialog antara Ja’far bin Abi Thalib dengan utusan dari kaum musyrik Mekah dihadapan Raja Najasyi. Namun, pada akhirnya kaum muslim berhasil meyakinkan Raja Najasyi akan kebenaran hijrah mereka, dan utusan kaum musyrik pun kembali ke Mekah tanpa hasil.
Rasulullah saw kemudian mengirim surat kepada Raja Najasyi dan menyerunya untuk masuk Islam. Raja Najasyi menerima seruan tersebut. Dan tatkala raja Najasyi ini meninggal dunia, Rasulullah sawpun melakukan shalat gaib untuknya.
Semakin lama tekanan dan intimidasi yang dialami oleh Rasulullah saw. dan kaum muslim semakin dahsyat. Hal inilah yang menyebabkan mereka hijrah Madinah. Jika hijrah ke Habasyah dilakukan secara kecil-kecilan oleh sejumlah sahabat, maka hijrah ke Madinah ini dilakukan dengan perbekalan dan persiapan yang matang dan memadai.

Hijrah ke Madinah
Namun, peristiwa yang sangat menentukan kesuksesan dakwah Islam, dan menjadi titik peralihan menuju kemenangan adalah ketika Rasulullah saw. dan para sahabatnya berhasil hijrah ke Madinah dengan selamat.
Keberhasilan hijrah ini tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang terjadi sebelumnya, yaitu:
1. Proses sumpah setia atau bai’ah oleh beberapa orang dari Madinah.
Peristiwa ini dikenal dengan Bai’atul ‘Aqabah al Ula wa Tsaniyah. Bai’ah yang pertama dilakukan oleh sepuluh orang dari suku Khazraj dan dua orang dari suku Aus kepada Rasulullah saw. Bai’ah ini dilakukan ketika mereka ziarah ke Masjidil Haram. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-12 kenabian (tahun 621 M di bulan Juli) di Aqabah, Mina. Adapun teks bai’ahnya: “Kami tidak akan mempersekutukan Allah dengan apapun juga, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak akan berdusta dengan menutup-nutupi apa yang ada di depan dan di belakang kami, dan tidak akan membantah perintah nabi dalam hal kebajikan” (HR. al-Bukhari)

Sedangkan bai’ah yang kedua terjadi pada musim haji tahun ke-13 kenabian (tahun 622, bulan Juni) di tempat yang sama. Adapun isinya adalah, “Kalian membai’atku dengan berjanji untuk patuh dan setia kepadaku, baik dalam keadaan sibuk maupun senggang, memberi infak baik dalam keadaan lapang rezeki maupun sempit, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, teguh membela agama Allah tanpa memperhatikan perbedaan ras, tidak takut dicela orang lain, tetap membantu dan membelaku ketika aku berada di tengah-tengah kalian sebagaimana kalian membela diri dan anak isteri kalian. Jika kalian melaksanakan semua ini, kalian akan memdapatkan surga.” (HR. Ahmad bin Hanbal)

2. Kesepakatan para pemuka suku Quraiys untuk menghabisi kaum muslim dan Rasulullah saw. di Darun Nadwah. Namun, kesepakatan ini diketahui oleh Rasulullah saw. melalui wahyu yang turun kepadanya, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (al-Anfal: 30)
Rasulullah saw. memerintahkan kepada kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah setelah turunnya ayat ini. Para sahabat mulai meninggalkan Mekah secara bergelombang. Rasulullah saw. sendiri adalah orang yang terakhir pergi ke Madinah.
Rasulullah saw. menyiapkan hijrah ini secara matang. Sebab, target utama kaum musyrik Mekah adalah mengagalkan hijrah kaum muslimin. Rasulullah saw. menyiapkan bekal, kendaraan, penunjuk jalan, strategi, dan rute yang akan ditempuh. Beliau juga meminta Abu Bakar ash-Shiddiq menemaninya, dan seorang pemandu jalan yang bernama Abdullah bin Uraiqit.
Rasulullah saw. meninggalkan rumah pada malam hari tanggal 27 bulan Shafar tahun ke-13 kenabian atau bertepatan dengan tanggal 12 atau 13 September tahun 622 M. Perjalanan awal keluar Mekah jusru menempuh jalan yang berlawanan dengan jalan menuju Madinah. Hal ini dimaksudkan untuk mengecoh para pengejar. Gua Tsur adalah tempat tujuan mereka. Di gua ini mereka bermalam selama tiga hari. Kaum musyrik Quraisy sempat mengejar, tetapi keberadaan Rasulullah saw. dan Abu Bakar di dalam gua tidak diketahui mereka.
Setelah berhasil lolos dari pengejaran kaum musyrik Mekah, perjalanan dilanjutkan kembali. Tetapi ternyata, para pemburu bayaran yang diiming-imingi hadiah besar oleh pihak Mekah terus mengintai mereka. Salah satu dari mereka adalah Suraqah bin Malik. Ia berhasil mengejar dan mendekati Rasulullah saw. dan Abu Bakar. Namun, setelah melihat mukzijat kenabian dari Rasulullah saw., Suraqah akhirnya tunduk.
Rasulullah saw. akhirnya tiba di Yatsrib (Madinah) pada hari Jum’at tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun yang sama. Beliau disambut penduduk Madinah dengan meriah. Al-Barra bin ‘Azib seorang sahabat dari kaum Anshor mengatakan, “Orang pertama dari para sahabat yang datang ke Yatsrib ialah Mus’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Kedua orang inilah yangmengajarkan Al Qur’an kepada kami. Kemudian menyusul Ammar bin Yasir, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Umar bin al-Khaththab bersama kafilah yang terdiri dari dua puluh orang. Setelah itu, barulah Rasulullah saw datang menyusul. Saya belum pernah melihat banyak orang bergembira seperti saat mereka menyambut kedatangan beliau, sehingga kaum wanita, anak-anak, dan para hamba sahaya perempuan bersorak-sorai meneriakkan, “Itulah dia, Rasulullah saw telah datang.” (HR. al-Bukhari).
Kedatangan Rasulullah saw di kota Yatsrib ternyata membawa perubahan yang sangat besar bagi perkembangan Islam. Paling tidak, beliau berhasil menjadi juru damai bagi dua suku asli penduduk Yatsrib, yaitu suku Aus dan Khzaraj. Rasulullah saw. mempersaudarakan, menyatukan, dan mendamaikan mereka dengan ikatan iman dan Islam serta persaudaraan Islamiyah. Sehingga terhapuslah di hati mereka militansi kesukuan yang sempit. Sementara itu, para pendatang Muhajirin juga mulai mewarnai aktivitas di kota itu dengan perdagangan. Tak lama kemudian, kaum Muhajirin mampu menggeser dominasi ekonomi dan perdagangan kaum Yahudi.
Rasulullah saw. kemudian meletakkan tiga hal yang menjadi tonggak pembentukan masyarakat baru, yaitu:
1. Memperkokoh hubungan kaum muslim dan Tuhannya dengan membangun masjid;
2. Memperkokoh hubungan intern umat Islam dengan mempersaudarakan kaum pendatang Muhajirin dari Mekah dengan penduduk asli Madinah, yaitu kaum Anshor;
3. Mengatur hubungan umat Islam dengan orang-orang diluar Islam, baik yang ada di dalam maupun di sekitar kota dengan cara mengadakan perjanjian perdamaian.
Melalui tiga hal di atas, Rasulullah saw. berhasil membangun masyarakat ideal. Masyarakat ini terwujud dalam suatu negara, yang beliau beri nama Madinah, artinya “kota” atau “tempat peradaban”. Di dalam masyarakat itu, Rasulullah saw. secara bertahap menerapkan sistem yang dapat melindungi mereka dengan kehidupan yang damai dan makmur. Pada akhirnya, disebabkan melihat suasana damai itu, banyak penduduk kota Madinah dan sekitarnya yang menyatakan masuk Islam.
Setelah terbentuknya negara Madinah, Islam mulai menguatkan eksistensinya di wilayah sekitar kota Madinah, sampai kota Mekah pun dapat dibebaskan. Dengan dibebaskannya Mekah tidak ada lagi hijrah ke Madinah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “Tidak ada hijrah setelah pembebasan (Mekah).” (HR. al-Bukhari)
Tetapi, menurut Munawar Khalil, hijrah dalam pengertian meninggalkan sesuatu yang buruk menuju sesuatu yang baik atau hijrah secara maknawiyah spiritual merupakan kewajiban bagi setiap muslim sepanjang hidupnya. Hijrah maknawiyah ini terus berlaku sepanjang masa. Dan mengingat pentingnya peristiwa hijrah ini, Umar ibnul Khaththab, berdasarkan usul Ali bin Abi Thalib, menetapkan peristiwa hijrah ini sebagai awal tahun penanggalan Islam.
Setelah mengalami perjalanan hijrah yang cukup melelahkan dan penuh ketegangan, Rasulullah saw. dan Abu Bakar akhirnya sampai di kota tujuan, Yatsrib. Kaum muslim yang menantikan mereka dengan cemas akhirnya merasa lega. Mereka menyambut Rasulullah saw. dan Abu Bakar dengan penuh suka cita. Mereka bahkan bersenandung, bernyanyi, dan bersyukur akan kedatangan Rasullah saw. dan Abu Bakar yang selamat dan tidak kurang suatu apapun jua.
Rasulullah saw. kemudian mengganti nama kota Yastrib dengan nama al-Madinah al-Munawarah atau lebih dikenal dengan Madinah. Kota ini kemudian menjadi tanah suci karena disucikan oleh Rasulullah saw., sebagaimana dalam sabdanya, “Rasulullah saw. telah mensucikan tanah antara dua laba (tanah berbatu hitam antara timur dan barat) Madinah.” (HR. Muslim). Kota ini terletak kurang lebih 350 km di utara kota Mekah.
Rasulullah saw. tiba pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H atau 27 September 622 M di perkampungan Bani Najjar di Madinah. Beliau turun dari untanya di depan rumah Abu Ayub, seraya berkata, “Di rumah inilah, insya Allah”. Beliau kemudian masuk ke rumah Abu Ayub dan tinggal untuk sementara waktu.
Sebelum masuk kota Madinah, Rasullah saw. singgah di pemukiman Bani ‘Amr bin ‘Auf selama empat belas hari. Dalam waktu yang singkat tersebut beliau membangun masjid Quba. Masjid itu adalah menjadi masjid pertama yang dibangun dalam sejarah Islam. Mengenai masjid tersebut, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at- Taubah: 108)
Setelah tiba di Madinah, Rasulullah saw. mulai membangun masyarakat baru, yakni masyarakat madani. Ada dua hal utama yang dikerjakan Rasulullah saw, yaitu: Pertama, menguatkan hubungan vertikal kaum muslim dengan Allah swt., melalui sarana masjid; Kedua, menguatkan hubungan horizontal sesama muslim melalui proses ta-akhi (persaudaraan), dan antara umat Islam dengan non Islam dengan Mii-tsaqul Madinah (Piagam Madinah).
Di dalam hadits dijelaskan, pekerjaan pertama yang dilakukan Rasululah saw. di Madinah adalah membangun masjid. Tempat yang dipilih adalah sebidang tanah milik dua orang anak asuh As’ad bin Zararah di Mirbad. Mereka sebenarnya ingin memberikan tanah itu secara cuma-cuma, tetapi Rasulullah saw. tetap membayarnya. Tanah itu sebelumnya ditumbuhi beberapa pohon kurma liar dan beberapa buah kuburan orang-orang musyrik.
Masjid itu berukuran kurang lebih seratus hasta, terdiri dari sebidang tanah segi empat sama sisi, dibatasi oleh bekas pelepah-pelepah kurma, dengan kiblat masih menghadap ke Masjidil Aqsha. Lantainya terdiri dari pasir dan kerikil, sedangkan tiang dan atapnya dari batang dan pelepah daun kurma. Rasulullah saw. ikut turun tangan membangun masjid bersama para sahabatnya. Mereka mengerjakannya sambil bersyair dan bersenandung.
Mengapa masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah saw. dan bukan yang lainnya? Sebab, Rasulullah mengetahui bahwa imanlah sesungguhnya inti kekuatan dari masyarakat madani yang hendak dibangun. Maka, masjid adalah sarana yang tepat untuk memelihara iman agar tetap kokoh dan mantap. Masjid akan melahirkan keimanan yang produktif, yang hidup dan menghidupkan, dan memberi manfaat bagi kehidupan seluruh alam. Adanya masjid menempa para sahabat untuk berjuang lebih lanjut, karena memang tantangan dakwah Islam selanjutnya akan lebih berat. Karena itu, mereka harus memiliki iman kokoh yang tidak melahirkan rasa takut dan gentar kecuali kepada Allah swt., “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap meadirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah.” (at-Taubah: 18)
Selain itu, masjid ini juga diharapkan menjadi tempat pembinaan umat secara keseluruhan, baik dalam rangka menyusun strategi dakwah maupun taktik lainnya. Dari masjid inilah lahir masyarakat baru yang dikenal dengan nama masyarakat madinah, nama itu menjadi acuan bagi peristilahan masyarakat madani (civil society) yang sekarang ini sedang ngetrend.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang harmonis dan seimbang, baik secara lahir maupun batin, juga dalam hubungan vertikal kepada Al-Kholik dan horizontal sesama makhluk, “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (an-Nuur: 36-38)
Masjid secara vertikal menguatkan hubungan seorang hamba kepada Tuhannya, dan secara horizontal menguatkan hubungan antar anggota masyarakat muslim. Proses ini berjalan secara paralel, yaitu seiring adanya pertemuan intens dalam sholat fardhu sehari semalam sebanyak lima kali dan sholat Jum’at sekali seminggu. Hal ini melahirkan barisan kaum muslimin yang kokoh dan kuat yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. Barisan ini kemudian menjadi pasukan yang mampu menaklukkan kekuatan pasukan kaum musyrik Mekah di berbagai peperangan. Barisan ini juga ditakuti oleh kabilah-kabilah di pedalaman, dan pada akhirnya mampu membalikkan kenyataan: mengusir tentara Romawi dan berhadapan dengan pasukan Rustum (seorang jenderal Persia). Beberapa saat sebelumnya, tidak terbersit sedikitpun di dalam benak kaum muslim bahwa mereka akan mampu melakukannya. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff: 4)
Hal kedua yang Rasulullah saw. lakukan adalah melaksanakan strategi ‘ta-akhi bainal muhaajiriina wal anshaari’ (persaudaraan antara Muhajirin dan Anshor) yang dimaksudkan untuk menguatkan kesatuan dan persatuan di kalangan kaum muslim. Tujuan lain dari hal ini adalah untuk menguatkan hubungan antara pendatang dan penduduk asli, memusnahkan fanatisme kesukuan ala jahiliyah, dan menumbuhkan semangat pengabdian yang ditujukan hanya untuk Islam. Karena secara historis, orang-orang Anshar yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khajraz pernah saling bermusuhan. Darah yang belum kering, dendam yang belum padam, sirna dihapus oleh jiwa baru persaudaraan Islam.
Dua ‘Amunisi’ persaudaraan, Itsar dan Ifah
Melalui persaudaraan ini, Rasulullah saw. berhasil menyatukan kaum muslimin tidak hanya pada tataran teoritis, namun juga pada tataran aplikasi. Pada kenyataannya, persaudaraan ini mengikat serta mempersatukan tidak hanya jiwa namun juga harta mereka. Mengenai hal ini al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut, “Setibanya kaum Muhajirin di Madinah, Rasulullah saw. mempersaudarakan antara Abdur Rahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Ketika itu, Sa’ad berkata kepadanya, “Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta kekayaan. Harta kekayaanku ini akan aku bagi dua, separuh untukmu dan separuh untukku. Aku juga mempunyai dua orang isteri, lihat mana yang paling baik untuk anda. Sebutkan namanya, maka ia akan segera kuceraikan, dan sehabis masa iddahnya kupersilahkan engkau menikah dengannya.” Mendengar hal itu, Abdur Rahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan anda. Tunjukan saja kepadaku, dimanakah pasar kota kalian?” Abdur Rahman kemudian ditunjukkan pasar milik Bani Qainuqo. Maka mulailah Abdur Rahman berkerja, dan ketika pulang ia membawa gandum dan samin. Setiap pagi dia melakukan hal itu. Sampai pada satu hari beliau mendatangi Rasulullah saw. dengan pakaian yang bagus dan rapi. Rasulullah saw. pun berkata kepadanya, “Apakah engkau sudah mempunyai penghasilan?” Jawabnya, “Saya sudah menikah.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Berapa mas kawin yang engkau berikan kepada isterimu?” Ia menjawab lagi, “Setail uang emas.” (HR. al-Bukhari)
Sesungguhnya dialog yang terjadi antara Abdur Rahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Rabi’ melebihi dialog antar dua insan bersaudara. Akan tetapi, sesungguhnya ia merupakan dialog iman. Dari dialog ini terlihat sikap itsar atau rela berkorban, membagi, dan solidaritas, namun juga diimbangi dengan sikap ta’affuf atau harga diri yang tinggi, pantang menyerah, dan putus harapan. Antara itsar dan ta’affuf, antara membagi dan dan tidak putus asa adalah sinergi yang melahirkan dinamika dan produktivitas hidup. Hal ini melahirkan energi kuat yang menjadi penggerak kemenangan kaum muslim saat itu.
Seakan hilang dari para aktivis dakwah…
Tidak ada lagi itsar dan ta’affuf. jika ada itsar namun ta’affuf mati, layaknya memberi makan orang kuat namun pemalas. Akibatnya, umat Islam dewasa ini menjadi mandul, kurang produktivitas, dan hina di mata musuhnya. Akan tetapi, generasi awal umat ini tidaklah demikian, sebagaimana Abdur Rahman bin ‘Auf yang mempunyai jiwa pantang menyerah. Hanya dalam waktu singkat ia sudah mampu menikah lagi dengan mahar yang cukup mahal. Abdur Rahman bin ‘Auf bersama Ustman bin Affan serta sahabat lainnya merupakan pebisnis ulung, yang pada akhirnya mampu menggusur dominasi ekonomi dan perdagangan kaum Yahudi di Madinah. Karena itu, memepertahankan martabat dan harga diri, tingginya solidaritas, dan kesiapan berkorban menjadi penentu bagi kemuliaan Islam dan umatnya. Di sisi lain, amat tercela bagi sebagian orang yang memeluk Islam sekaligus menelan Islam, yaitu orang-orang yang mencari makan atas nama Islam sehingga mengakibatkan hancurnya martabat dan kehormatan Islam di dunia ini.
Sesungguhnya Islam dibangun atas landasan persaudaraan sejati yang merupakan buah dari keimanan yang tinggi. Jika kita mengambil contoh dari Rasulullah saw. dan para sahabat, maka persaudaraan sejati semacam itu hanya terdapat pada manusia-manusia yang berjiwa bersih dan berakhlak mulia. Persaudaraan ini melahirkan cinta kasih, ibarat mata air yang memancar keluar dan mengalir dengan sendirinya. Hal ini tidak bisa dipaksakan dengan peraturan atau undang-undang apapun juga. Persaudaraan ini akan berkembang di dalam hati dan membebaskan fikiran manusia dari cengkeraman egoisme, kekikiran, serta akhlak dan budi pekerti yang rendah.
Inilah dia sesungguhnya gambaran masyarakat madani itu, satu tipe alternatif yang dicita-citakan masyarakat manusia sekarang ini. Masyarakat yang harmonis, penuh kasih sayang dan toleransi, serta rahmat bagi semua. Karena itulah, mengawali keberadaannya di kota Madinah, Rasulullah saw. mensosialisasikan slogan-slogannya, yaitu keselamatan, kesejahteraan, keamanan, kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan.
Abdullah bin Salam, seorang rahib Yahudi yang masuk Islam, mengatakan, “Aku mendatangi Rasulullah saw. saat ia tiba di Madinah. Jelaslah bagiku wajahnya, dan tidak tampak padanya wajah seorang pendusta. Hal yang pertama kali aku dengar dari ucapan-ucapannya adalah:
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambungkanlah persaudaraan, dan sholatlah di waktu malam sementara manusia tidur, maka kalian akan masuk surga Tuhanmu dengan sejahtera.” (HR.at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan ad-Daarimi)
“Tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak tenteram dari gangguan-gangguannya.” (HR. Muslim)
“Seorang muslim adalah orang yang membuat muslim lainnya merasa aman dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)
“Tidak beriman seseorang daripadamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)
“Orang-orang beriman seperti satu tubuh, apabila matanya sakit, sakit pulalah seluruh badannya, dan apabila kepalanya sakit, sakit pulalah seluruh tubuhnya.” (HR.Muslim)
“Janganlah kalian saling membenci, saling hasad, dan saling bertengkar. Tetapi, jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim meninggalkan (memusuhi) saudaranya melebihi tiga hari.” (HR. Bukhari)
Proses Hijrah,perencanaan strategi ajaran siroh (‘al-Takhtîth al-Basyariy’ )



Rasulullah Saw hijrah dari Mekkah ke Madinah. Rasul Saw berhijrah ke Madinah demi kemaslahatan dakwah karena beliau dan shahabatnya tidak mendapat tempat yang kondusif untuk berdakwah lagi di Mekkah. Begitu juga di Habasyah kelihatannya tidak cocok dijadikan sebagai basis dakwah. Karena itu, Rasul Saw memilih Yatsrib sebagai kota hijrah ke Madinah.
hijrah Rasulullah Saw adalah sebaik-baik perencanaan manusia ‘al-Takhtîth al-Basyariy’ saat itu. Rasul Saw sebagai leader karena beliau mengelola hijrah bukan dengan ‘bim salabim’ alias serampangan J. Tentunya ini sangat menarik bagi kita umatnya untuk mengambil benang merah kehidupan yang kemudian dapat bingkai melalui sirah Nabawiyah ini.
Setidaknya ada delapan belas perencanaan yang dilakukan Rasululullah Saw untuk kesuksesan perjalanan hijrahnya yang dapat kami ambil intisarinya.
1. Rasul Saw menyiapkan pembekalan yang cukup,
2. Membeli dua ekor unta empat bulan sebelumnya,
3. Berangkat dengan di waktu siang sehingga tidak seorang pun yang melihatnya,
4. Berangkat dengan tidak tergesa-gesa sambil menutupi wajahnya supaya tak terlihat.
5. Memerintahkan semua untuk mengosongkan rumah guna menjaga rahasia.
6. Menyiapkan perbekalan yang dibawa nantinya oleh Asma,
7. Keluar hijrah dari pintu rumah Abu Bakar,
8. Membagi tugas secara rahasia, mereka adalah Aisyah, Asma, Ummu Ruman, Abdullah bin Abi Bakar, dan Ali bin Abi Thalib.
9. Bermalam di Goa Tsur selama tiga hari hingga keadaan Mekkah stabil.
10. Menugaskan Abdullah bin Abi Bakar sebagai informan.
11. Menugaskan Amir bin Fahirah mengapus jejak Abdullah bin Abu Bakar dengan gembalaan kambing.
12. Amir ini juga ditugaskan membawa perbekalan tambahan, yaitu sembelihan kambing dan susu.
13. Rasul Saw tidak bermalam di rumahnya.
14. Menugaskan Ali bin Abi Thalib bermalam dan tidur di kasur Rasul Saw.
15. Mengambil penunjuk jalan yang menguasai medan yaitu Ibnu Uraiqith.
16. Mengambil jalan yang bukan biasanya,
17. Mencari pendamping yang mengerti jalan yaitu Abu Bakar (ia seorang dikenal seorang pedagang dengan pengalaman lapangan) dan
18. Strategi Asma dengan harta.
Asma khawatir kakeknya Abu Kuhafah yang tidak melihat (belum masuk Islam) dan demi menenangkan hatinya, ia letakkan sebongkah batu dalam bungkusan baju dan disangka bungkusan itu uang dinar dirham untuk memastikan bahwa keluarga Abu Bakar yang ditinggal semua dalam keadaan aman. Asma mengatakan:“Demi Allah, saya tidak meninggalkan apa-apa tetapi aku ingin menenangkan kakekku”
(fiqh Sirah Nabawiyyah oleh Munir Muhammad Ghadban)
Rasul Saw memiliki visi besar yakni untuk menjadikan kota Yatsrib sebagai Madinah menjadi basis dakwah yang baru dan akan mengantarkan nantinya menjadi pusat peradaban Islam. Dari peristiwa hijrah inilah, para shahabat Rasul Saw pada tahun 16 H di zaman Umar bin Khattab sepakat menjadikan titik tolak peristiwa hijrah sebagai awal tahun baru Islam atas usulan Ali bin Abi Thalib.ra. Selain itu, Rasul Saw mengambil SDM yang terampil dan tepat baik dari elemen pemuda dan wanita. Dengan demikian, jadikan hijrah sebagai momentum kebangkitan diri menjadi insan shaleh lagi bermanfaat. Hijrah sebagai refleksi perubahan menuju peradaban Islam.
“Suatu hari Aisyah ra pernah ditanya oleh salah seorang shahabat tentang Hijrah ? ia menjawab: Tidak ada Hijrah hari ini, karena hari ini Allah Swt telah memenangkan Islam dan hari ini hendaknya seseorang beribadah kepada Allah sebagaimana yang ia mau kecuali jihad dan niat”. (HR.Bukhari, Bab Hijrah Nabi Saw, hadits 3611).

Inspirated by:
• Sirah Nabawiyah by Syaikh Shafiurrahman Al Mubarakfury
• Hikmah Shiroh Nabawiyah by DR. Mushthafa as-Siba’i
• Dakwatuna.com
• Fiqh Sirah by Munir Ghadban

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Blogger templates

BelajarInggris.net Tempat Kursus Bahasa Inggris Online cepat dan Mudah tanpa grammar Full Conversation / Percakapan Bersertifikat

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

KLIK DAPAT UANG

KLIK DAPAT UANG
IDR-CLICKIT

- Copyright © D u n i a M a y a -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -